Monday, April 2, 2012

Penulis Yang Mewakili Sastra Murni, Hwang Sun-won



Membangunkan Emosi Yang Murni

Saat si bocah laki-laki memandang gadis di sekitar kali kecil, dia langsung mengetahui gadis itu anak cucu dari keluarga Yun. Selama beberapa hari, gadis itu terus bermain air. Kemudian hari, gadis itu langsung melemperkan batu kecil yang diambil dari air kepada bocah laki-laki itu sambil menuturkan 'Si Bodoh'. Setelah itu, bocah laki-laki itu terjun ke kali kecil, namun tidak dapat menemukan jasad gadis itu. Dia merasa lega hati, namun juga merasa aneh. Dari waktu ke waktu, bocah laki-laki itu merasa kosong di dalam lubuk hatinya. 
Itulah sebagian cerpen yang menceritakan cinta monyet yang terasa menyedihkan antara seorang bocah laki-laki di kampung dan seorang gadis di kota, yaitu 'Hujan Deras'. Cerpen tersebut cukup menghanyutkan hati masyarakat Korea. Ada seorang penulis yang menampilkan keindahan, kemurnian dan kebebasan dari manusia lewat karya-karya termasuk cerpen 'Hujan Deras' yang ditampilkan pada tahun 1953. Dia tiada lain adalah penulis Hwang Sun-won yang dijuluki sebagai maestro di dalam sejarah sastra modern Korea. Tanggal 26 Maret lalu adalah genap 97 tahun sejak dia lahir di dunia ini.

Mulai Melakukan Kegiatan Sastra Sebagai Penyair

Hwang Sun-won yang lahir di Daedong, provinsi Pyeongan Selatan pada tanggal 26 Maret tahun 1915 memiliki bakat luar biasa di bidang sastra, sampai-sampai menampilkan karyanya saat dia masih duduk di bangku SLTP.

Hwang Sun-won yang tumbuh di rumah seorang kaya raya sempat belajar di Jepang pada tahun 1934. Di sana, dia membentuk badan penelitian teater dan juga menerbitkan buku syair pertama. Setelah masuk Universitas Waseda pada tahun 1936, Hwang Sun-won mulai menaruh minat untuk menciptakan novel secara aktif. Dengan demikian, dia menampilkan novel pertama 'Adverb on the Street’ pada tahun 1937, dan dia lebih memusatkan pikirannya dalam menciptakan novel lewat buku cerpen 'Swamp' yang diterbitkan 3 tahun kemudian.

Mengandung Era dan Sejarah Dalam Kemurnian

Hwang Sun-won yang terus menampilkan cerpen secara berturut-turut pulang ke kampung halaman, karena dia dipaksa untuk menuliskan novel akrab Jepang dalam bahasa Jepang. Di sana, dia membentuk dunia sastra tersendiri sambil menuliskan banyak karya dan menampilkan sekian banyak cerpen setelah kemerdekaan Korea.

Karya-karya dari Hwang Sun-won terasa indah, karena gaya tulis dinilai sederhana dan elok serta juga menunjukkan hasil tertinggi dari segi sastra. Namun demikian, dia juga tidak mengecualikan perhatian terhadap sejarah dan kenyataan yang cenderung terpinggirkan saat mementingkan keindahan karya. Dengan kata lain, dia tidak hanya menampilkan masalah sosial atau kenyataan lewat karya, tetapi juga menunjukkan keindahan dan kemurnian dari manusia.

Kehidupan Yang Terasa Murni Seperti Syair Dan Burung Bangau

Walaupun Hwang Sun-won menjalani kehidupannya pada masa penjajahan Jepang, dia tetap mampu mengatasi kesulitan atau keprihatinan dari segi sejarah modern Korea yang dinodai penjajahan Jepang, pembagian Semenanjung Korea, Perang Korea dan kediktatoran. Dengan kata lain, dia tetap menjaga prinsip sebagai penulis, yaitu 'Penulis hanya menuturkan lewat karya'.

Dia sama sekali tidak menerima permintaan apapun untuk membuat naskah dan juga menolak berbagai jabatan resmi atau gelar apapun kecuali jabatan profesor dari Universitas Kyunghee. Demikianlah, dia hanya memusatkan pikiran untuk menciptakan karya sastra dan meninggal dunia pada tanggal 14 September tahun 2000. Katanya, saat-saat dia meninggal dunia, penampilannya terasa sangat tenang. Hwang Sun-won memenuhi tugasnya sebagai sastrawan tanpa rasa tamak apapun dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena itu, banyak orang menjulukinya sebagai 'burung bangau putih di gunung hijau.'



Source : Kbs World
Share By IniSajaMo

No comments:

Post a Comment