Bunga Buckwheat Yang Mengingatkan Lee Hyo-seok
Ada banyak kata-kata indah diantara bahasa Korea, namun ada tulisan yang terpilih sebagai kalimat indah di dalam sastra Korea.
Jalan disajikan di tengah pegunungan.
Bunyi nafas dari bulan terdengar dari jarak dekat
Daun-daun dari kacang dan jagung basah dengan sinar bulan
Pegunungan ditutupi ladang buckwheat, sehingga bunga buckwheat yang baru mulai mekar, kelihatannya ditaburi garam. Penampilan yang terpancar sinar rembulan terasa sangat indah sampai-sampai susah bernafas.
Jalan berjarak 27 km yang merupakan latar belakang utama di dalam novel 'Saat Kembang Buckwheat Bermekaran' mulai dari wilayah Bongpyeong sampai Daehwa diekspresikan dengan indah, maka meningkatkan standar sastra Korea. Karya tersebut sangat mengesankan bagi masyarakat Korea, sampai-sampai festival berkaitan dengan novel tetap diselenggarakan di daerah tersebut, serta ditulis oleh Lee Hyo-seok.
Lee Hyo-seok, Siapa Dia?
Lee Hyo-seok yang lahir di wilayah Bongpyeong, Pyeongchang, Gangwon pada tahun 1907 menikmati masa kecil di daerah pegunungan. Pada tahun 1914, dia masuk ke SD Pyeongchang yang jauh dari rumahnya di Bongpyeong dengan menempuh jarak sepanjang 40 km. Pada waktu itu, tidak ada sarana angkutan, sehingga dia terpaksa berjalan kaki ke sekolah, sehingga pada waktu itu, Lee Hyo-seok menikmati alam sekitarnya antara jarak Bongpyeng dan Pyeongchang yang kemudian menjadi latar belakang novelnya 'Saat Kembang Buckwheat Bermekaran.'
Nilai kuliahnya cukup baik, sehingga Lee Hyo-seok berhasil masuk ke Akademi Jeil Gyeongseong pada tahun 1920. Pada waktu itu, dia suka membaca novel-novel dari Rusia dan menaruh perhatian pada sastra lewat pergaulan dengan seniornya, Yu Jin-o.
Setelah lulus kademi pada tahun 1925, Lee Hyo-seok masuk Universitas Imperial Gyeongseong dan mulai menjalani hidupnya sebagai sastrawan. Pada tahun 1928, dia berhasil melakukan debutnya sebagai penulis lewat cerpen 'Kota dan Hantu.' Setelah itu, dia melakukan kegiatannya sebagai penulis sastra pro-rakyat jelata atau proletarian, dan dunia karya sastra juga semakin berubah. Akhirnya, dia ikut gambil bagian dalam kelompok sastra murni 'Guinhwoi' pada tahun 1933, sehingga menunjukkan dunia sastra murni.
Dari Kritik Kenyataan Ke Pemujian Alam
Lee Hyo-seok mengibarkan namanya sebagai penulis yang mengekspresikan nuansa indah di kampung halaman lewat berbagai tulisan. Pada tahun 1936, dia diangkat sebagai profesor di perguruan tinggi Sungsil. Menjelang waktu itu, dia menampilkan novel 'Saat Kembang Buckwheat Bermekaran', sehingga dijuluki sebagai novelis yang paling cemerlang di bidang sastra murni.
Lee Hyo-seok membuat kalimat yang terasa seperti syair dan menciptakan suasana khusus, sehingga hal tersebut cukup mengharukan para pembaca. Bagi Lee Hyo-seok yang tumbuh di dalam alam, memiliki jiwa murni terasa sangat wajar, serta hal tersebut merupakan refleksi terhadap rasa kehilangan kampung halaman bagi penulis dibawah masa penjajahan.
Bintang Sastra Yang Jatuh Dalam 36 Usia
Lee Hyo-seok aktif melakukan kegiatan sastra lewat majalah sastra atau harian, namun mengalami penyakit setelah kehilangan isteri dan putra keduanya pada tahun 1940. Akhirnya, dia meninggal dunia pada tanggal 25 Mei 1942 dalam usia 36 tahun.
Setelah kematiannya, koleksi karyanya diterbitkan sebanyak 3 kali, serta novel dan eseinya seperti 'Saat Kembang Buckwheat Bermekaran', 'Gunung', 'Sambil Membakar Daun', dll. termuat di dalam buku pelajaran SLTP dan SLTA di Korea. Dengan demikian, nama Lee Hyo-seok terbayang terlebih dahulu saat memilih novelis agung di bidang cerpen modern Korea.
Source :KBS World
Shared : IniSajaMo
No comments:
Post a Comment