Wakil Cendekiawan Yang Beraksi
Bersama dengan cendekiawan Yi Hwang, Cho Sik adalah cendekiawan yang mewakili provinsi Gyeongsang pada abad ke-16. Cho Shik dengan nama pena Nammyeong ingin dijuluki sebagai 'Cheosa' yang berarti 'orang yang menimba ilmu sepanjang tahun tanpa naik jabatan.' Walaupun dia memiliki pengetahuan tinggi sampai-sampai tidak kalah dengan cendekiawan Yi Hwang, Cho Shik menolak untuk naik jabatan.
Namun, Choi Shik bukan cendekiawan yang hanya mencari jalan keluar lewat buku saja. Dia selalu memiliki lonceng untuk mawas diri sambil mendengarkan bunyi lonceng, dan juga memiliki pedang untuk mengontrol rasa tamaknya. Demikianlah, dia cendekiawan yang mampu menunjukkan pandangannya lewat aksi.
Menyerah Jabatan Pemerintah
Cho Shik lahir di Hapcheon, Gyeongsang Selatan pada tahun 1501, dan saat dia berusia 15 tahun, ayahnya diangkat sebagai bupati wilayah Dancheon, provinsi Hamgyeong. Di wilayah tersebut, dia menimba ilmu dalam berbagai bidang meliputi astronomi, geografi, medis, militer, dll. Demikianlah, dia berupaya untuk menemukan jalan keluar yang dapat memecahkan kesulitan rakyat lewat ilmu.
Cho Shik menimba ilmu segiat-giatnya, sehingga dia lulus ujian nasional dalam usia 20 tahun. Namun, akibat insiden Gimyo yang membunuh para sarjana secara massal, termasuk Jo Gwang-jo, ayah Cho dipecat dan dia juga pulang ke kampung halaman, karena merasa kecewa terhadap keadaan politik dan sosial. Namun, setelah membaca kitab 'Seongni Taejeon', yaitu karya pemikir Neo-Konfusianisme dari Cina, Hu Guang, Cho Shik memperoleh kesadaran besar, maka sejak dia berusia 25 tahun, dia memusatkan pikiran untuk menimba ilmu konfusianisme.
Sarjana Yang Berpedang
Setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 1526, Cho Shik melaksanakan perkabungan selam tiga tahun. Setelah itu, dia tetap menimba ilmu dan mengajar murid-muridnya. Berbeda dengan Yi Hwang, Cho Shik mementingkan praktek Neo-Konfusianisme. Dengan kata lain, hak yang penting baginya adalah mempraktekkan ilmu dalam kehidupan dan mengontrol diri agar tidak tergoda oleh ketidakadilan.
Nama Cho Shik yang menganjurkan arah hidup sarjana pada abad ke-16 dengan mengkritik kenyataan dan mencintai rakyat semakin terkenal, sampai-sampai mendapat perhatian dari pemerintah. Walaupun pihak pemerintah beberapa kali memberikan jabatan kepadanya, namun dia tidak menerimanya. Saat dia diangkat sebagai hakim desa Danseong pada tahun 1555, dia menuliskan surat permohonan untuk menolak jabatan itu. Namun, isi tulisannya mengguncang Joseon, karena mengkritik ratu Munjeong yang melaksanakan kekuasaan sebagai pengganti putra, yaitu raja Myeongjong yang masih muda dengan mengibaratkan Myeongjong sebagai anak yatim piatu, dan ratu Munjeong sebagai janda. Akibat surat permohonan itu, Cho Shik mendapat banyak tuduhan, namun gengsinya semakin tinggi lagi.
Menyampaikan Pengetahuan Secara Praktis
Pada tahun 1551, sekian banyak sarjana ingin belajar dibawah bimbingan Cho Shik. Dengan demikian, dia pindah ke gunung Jiri, dan mengajarkan murid-muridnya sampai dia meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Cho Shik mementingkan praktek konfusianisme, sehingga buku yang dia tuliskan tidak begitu banyak. Namun demikian, murid-muridnya tetap berupaya untuk mempraktekkan ilmu dan semangat gurunya dan mereka berperan penting di bidang akademi dan politik pada era pemerintahaan raja Seonjo. Sementara, saat pecahnya invasi Jepang ke Joseon pada tahun 1592, 50 muridnya berani berjuang untuk menyelamatkan negara. Demikianlah, sikap Cho Shik yang langsung beraksi setelah menyaksikan ketidakadilan dilanjutkan oleh murid-muridnya.
Source :kbsworld
Shared :IniSajaMo
No comments:
Post a Comment